Toleransi
dan Pluralisme dalam Hindu
Oleh: W. Sumertha
Om Suastiastu.
Segala puji dan syukur kita
panjatkan kehadirat Hyang Widhi wasa atas segala berkat dan kasih yang telah
dilimpahkan kepada kita. Tanpa kemurahanNya mustahil semua ini dapat kita
nikmati.
Baru-baru ini saya diutus oleh Parisada Sulut
untuk mengikuti konferensi antar umat beragama antara Indonesia dan Jerman.
Salah satu permasalahan yang dibahas adalah mengenai toleransi dan pluralism. Konferensi
ini dilaksanakan karena kita mencermati akhir-akhir ini mulai timbul berbagai
konflik yang diakibatkan oleh kurangnya toleransi.
Kita semua tahu bahwa hindu
merupakan agama yang tertua yang bertahan sampai sekarang karena selalu relevan
dengan perkembangan jaman baik dimasa lalu, masa sekarang dan di masa yang akan
datang. Hindu memiliki kekayaan filsafat dan kaidah spiritual yang terbentuk selama ribuan tahun. Kita
patut berbangga karena ditengah – tengah
maraknya konflik yang mengatasnakanan agama, kita jarang mendengar Hindu ada
didalamnya. Agama kita memiliki konsep yang sangat jelas tentang toleransi dan
pluralisme.
Dalam
kehidupan kita bermasyarakat kita bersinggungan dengan orang lain dari
kepercayaan dan keyakinan yang berbeda. Masing-masing keyakinan memiliki
perbedaan dalam tiga aspek yaitu srada/ tatwa, acara/ritual dan etika/susila.
Srada menyangkut keimanan dan konsep tentang ketuhanan, dan ritual menyangkut
tata cara kita untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi. Perbedaan-perbedaan keyakinan ini memberi rona
dan mewarnai kehidupan beragama dalam masyarakat. Walaupun demikian, pada aspek
tertentu memiliki kesamaan, misalnya menyangkut kemanusiaan (humanity).
Pertama kita mengenal ajaran atau prinsip vasudhaiva kutumbakam. Prinsip ini berasal dari kata vasudha, eva dan kutumbakan. vasudha berarti dunia, eva merupakan kata penekan yang bermakna benar adanya dan kutumbakam berarti keluarga. Dengan demikian ajaran ini bermakna bahwa seluruh dunia ini hanyalah satu keluarga besar. Ini adalah suatu ajaran yang mencoba untuk memberi kita pemahaman bahwa seluruh umat manusia pada hakekatnya adalah satu kelurga besar. Ini adalah filsafat sosial yang berakar dari pemahaman spiritual bahwa seluruh umat manusia tercipta dari satu sumber kehidupan yang sama yaitu Brahman atau Hyang Widhi Wasa. Jika Parama Purusa atau Hyang Widhi hanya satu bagaimana mungkin atman yang menghidupi makhluk hidup berbeda? Jika atman yang bersemayam dalam setiap makhluk hidup berbeda bagaimana dia bias menyatu dengan Hyang Widhi? Bagaimana Moksatram bisa tercapai jika percikan suci atman berasal dari sumber yang berbeda?. Jika air samudra adalah satu bagaimana mungkin setetes air hujan berbeda dengan samudra? Inilah makna sesungguhnya dari prinsip vasudhaiva kutumbakan, bahwa kita semua berasal dari sumber yang sama dan dengan demikian dunia ini merupakan organisasi kesadaran kosmis Hyang Widhi Wasa. Prinsip Vasudhaiva kutumbakam berasal dari kitab Mahopanishad -VI – 70:
Ayam bandhurayam neti ganana
laghuchetasam
Udarachairitam tu vasudhaiva
kutumbakam
Hanya orang kerdil yang
membeda-bedakan berkata: dia adalah keluarga saya; yang lain adalah orang
asing. Bagi mereka yang berjiwa besar, seluruh dunia tidak lain adalah satu
keluarga.
Ayat ini bukan saja mengenai kedamaian
dan harmoni antara masyarakat tetapi juga megajak kita semua untuk hidup bersama
seperti keluarga. Dengan alasan ini Hindu mengajarkan bahwa kekuatan apapun
dimuka bumi ini baik besar maupun kecil tidak bisa semena-mena, dan mengabaikan
yang lainnya.
Yang kedua kita memiliki ajaran Tri
Hita Karana, atau tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Tri hita karana
mengajarkan falsafah hidup yang harmonis dengan Tuhan, Alam sekitar dan sesama
manusia. Kita manusia adalah ciptaan
Hyang Widhi, sedangkan atman merupakan percikan sinar suci kebesaran Hyang
Widhi yang menyebagkan kita hidup. Kita juga bergantung kepada alam dan
lingkungan dimana kita hidup, dan menjadi kewajiban kita untuk menjaga dan
memperhatikan lingkungan. Dan kita adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan
orang lain demi kelangsungan hidup kita. Oleh sebab itu hubungan dengan sesama harus
selalu baik dan harmonis. Hubungan dengan sesama harus diatur dengan dasar
saling asah, saling asih dan saling asuh yang artinya saling menghargai, saling
mengasihi dan saling membimbing. Jika ketiga hubungan ini dapat kita jalankan
dengan seimbang maka hita atau kebahagiaan akan tercapai.
Kita juga menemukan berbagai ajaran
toleransi dari beberapa mantram yang biasa kita gunakan baik sebagai dainika upasana
atau mantra sehari-hari dan naimitika upasana atau mantra yang digunakan secara
incidental pada saat-saat tertentu. Misalnya pada mantram trisandya ayat lima kita
menjumpai doa “sarwa prani hitangkara” semoga semua makhluk bahagia. Kita bukan
hanya menghormati semua makhluk tetapi juga berdoa untuk kesejahteraan mereka. Mantra
lain seperti:
Om sarve bhavantu sukhinah. Sarve
santu niraamayaah.
Sarve bhadraani pashyantu. Maa kaschid dukhbhaag bhavet.
Sarve bhadraani pashyantu. Maa kaschid dukhbhaag bhavet.
Semoga semua makhluk bahagia, semoga
semua makhluk sehat
Semoga semua makhluk menikmati
kesejahteraan, semoga tak satupun mengalami penderitaan
Doa mantra tersebut
mendemonstrasikan betapa kita peduli dengan semua makhluk secara universal
tidak hanya inklusif atau terbatas bagi pemeluk hindu semata-mata. Kita
memandang semua makhluk sebagai manifestasi dari satu kesadaran agung yaitu
Hyang Widhi Wasa.
Ekam sat vipraha bahudha vadanti
Hanya ada satu kebenaran, para bijaksana menyebutnya dengan nama yang berbeda.
Hanya ada satu kebenaran, para bijaksana menyebutnya dengan nama yang berbeda.
Kita bukan hanya mempromosikan
toleransi tapi juga penghormatan terhadap perbedaan keyakinan atau jalan
ketuhanan yang berbeda. Dengan demikian, kita berpendirian bahwa sungguh
berbahaya dan cacat untuk secara sengaja memaksakan keyakinan kepada orang lain
bahwa ajarannya yang paling benar dan satu-satunya jalan menuju Tuhan, apalagi
dengan cara kekerasan, tipu muslihat, dan merendahkan kepercayaan orang lain. Dengan ajaran dan filosofi yang
sedemikian santun ini kita patut bangga menjadi hindu, bangga dilahirkan di
tengah-tengah keluarga hindu. Mari kita implementasikan ajaran ini kedalam
kehidupan kita.
Sebelum saya mengakhiri wacana
dharma ini, saya ingin membacakan sloka yang di ambil dari Rgveda X.191.2 dan 4
Sam gacchadhvam sam vadadhvam
sam vo manam si jànatàm,
devà bhàgam yathà pùrve samjànànà upàsate.
sam vo manam si jànatàm,
devà bhàgam yathà pùrve samjànànà upàsate.
(Wahai umat manusia! Hiduplah dalam
harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu, dan bekerja sama.
Berbicaralah dengan satu bahasa, dan ambilah keputusan dengan
satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan
kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah
dalam melaksanakan kewajibanmu)
Samànì va àkutih samànà hridayàni
vaá,
samànam astu vo mano yathà vahá susahàsati.
Rgveda X.191.4.
samànam astu vo mano yathà vahá susahàsati.
Rgveda X.191.4.
(Wahai umat
manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling
pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan
kerukunan dan kesatuan)
Demikian wacana singkat yang dapat
saya sampaikan, kalau ada kekurangan mohon di maafkan. Om santi-santi-santi OM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar